Notification

×

Iklan

Hosting Unlimited Indonesia

Iklan

Hosting Unlimited Indonesia

Tag Terpopuler

Jabatan Kepala Desa 9 Tahun Dinilai Bungkam Demokrasi Oleh Aktivis KAKI

Sabtu, 08 Juli 2023 | 23:35 WIB Last Updated 2023-07-08T16:35:33Z




JAKARTA - Diketahui Badan Legislasi (Baleg) DPR menyepakati, untuk menjadikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa untuk disahkan menjadi undang-undang dalam sidang paripurna.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Achmad Baidowi menjelaskan, RUU Desa tersebut direvisi untuk mengatur segala ketentuan perangkat desa beserta anggaran dana desa.

"Revisi UU Desa mengubah periodisasi jabatan kades, menambah dana desa, dan mengatur status perangkat desa," jelas Baidowi, Selasa (4/7/2023).

Baidowi mengungkapkan, yang paling krusial terkait perangkat desa, yakni mengubah masa jabatan kepala desa, dari 6 tahun dalam tiga periode, menjadi 9 tahun dalam dua periode. "Kalau Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 itu masa jabatan kepala desa 6 tahun bisa tiga periode," tuturnya.

"Enam kali tiga sama dengan delapan belas tahun. Yang undang-undang baru ini, revisi yang di dalam RUU, sembilan tahun kali dua periode," kata Baidowi lagi.

Perubahan periodisasi kepala desa tersebut, kata Baidowi bertujuan memberikan waktu kepada kepala desa terpilih untuk melakukan konsolidasi karena efek pilkades. "Karena ini pemilihan di tingkat lokal dan sangat paling bawah, itu abses sosialnya bisa cukup tinggi."

"Ya memang panas, tensinya memang panas kalau pilkades itu dan kalau enam tahun dirasa belum cukup waktunya untuk menghilangkan trauma-trauma itu," jelasnya. Sebab, kata Baidowi kerap kali, saat kepala desanya belum membangun, namun mereka masih sibuk konsolidasi dan kemudian habis masa jabatannya.

Adapun RUU Desa inisiatif DPR ini juga mengusulkan untuk adanya penambahan dana desa, dari tadinya 8% dari Dana Transfer ke Daerah, dinaikkan menjadi 20%. "Sebelumnya mungkin tidak ditentukan, cuma besarannya kemarin itu kira-kira 8%. Kita usulkan naik jadi 20%," jelasnya.

Anggaran dana desa dinaikkan menjadi 20% tersebut, kata Baidowi untuk mewujudkan pemerataan pembangunan. Sehingga denyut ekonomi masyarakat di desa bergeliat. Dan pertumbuhan ekonomi nasional juga bisa terasa hingga ke tingkat desa.

Revisi UU Desa, kata Baidowi juga termasuk akan mengatur mengenai masa jabatan yang berkaitan dengan BPD (Badan Permusyawaratan Desa). "Kita juga mengatur tentang nasib perangkat desa dan juga terkait tunjangan dari kepala desa, penghasilan apa yang diperbolehkan untuk kepala desa, semuanya diatur secara gamblang," jelas Baidowi.

Disisi lain Moh Hosen Aktivis Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) menyampaikan Masa jabatan perlu dibatasi guna mencegah hal-hal korupsi yang cenderung akan terjadi jika perpanjangan masa jabatan dilakukan. Karena Usulan Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) mengenai revisi masa jabatan kades bukan sebatas wacana.

Pada Juni 2023, usulan ini mendapat lampu hijau DPR—dari 6 tahun per periode dan dapat menjabat paling banyak tiga kali masa jabatan menjadi 9 tahun per periode dan dapat menjabat paling banyak dua kali masa jabatan.

Di tengah jabatan kades yang kini di kelilingi kewenangan dan hak pengelolaan ratusan juta rupiah sampai miliaran rupiah dana desa, usulan ini harus dicermati serius. Jika perpanjangan masa jabatan kades dibandingkan dengan kepala negara.

Coba bayangkan Masa jabatan kepala negara yang notabene dengan lingkup tanggung jawab besar saja diatur dan dibatasi: 5 tahun per periode dan dapat menjabat paling banyak 2 kali masa jabatan.

Sedangkan dalam Undang-Undang No 6/2014 itu, masa jabatan kepala desa 6 tahun bisa 3 periode. Sementara revisi UU baru ini, 9 tahun kali 2 periode.

Lantas ini, kades dengan lingkup tanggung jawab lebih sempit serta kecil (sederhana), justru masa jabatannya lebih lama. Tak kalah menggelitik adalah pertimbangan perpanjangan salah satunya karena masa waktu 2 tahun awal jabatan digunakan untuk konsolidasi perangkat desa dan warga.

"Ingatlah, ketegangan dan polarisasi seringkali muncul pasca-pemilihan kepala desa (Pilkades). Sekitar empat puluh persen waktu menjabat akan terbuang untuk itu. Ini mencerminkan tingkat partisipasi politik kita belum matang, tetapi apakah solusinya memperpanjang masa jabatan.

Gak Bahaya tah ? memperpanjang masa jabatan kepala Desa ini tentu bertentangan dengan alam demokrasi kita. Demokrasi memiliki game of rules, salah satunya adalah pembatasan masa jabatan pemerintah.

Kinerja pemerintahan yang dianggap bagus sekali pun tetap perlu dibatasi melalui pemilihan umum yang rutin. Para ilmuwan politik telah memberi peringatan: “Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut (itu) korup seratus persen.”

Dengan masa jabatan yang terlalu lama terindikasi : Pertama, potensi kades menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) cenderung tinggi. Jabatan dan kedudukannya bisa dimanfaatkan untuk memonopoli kekuasaan, yang sudah pasti mengutamakan kepentingannya sendiri atau kelompok.

Kedua, sirkulasi atau regenerasi kepemimpinan akan lama. Ini sangat mungkin terjadi karena dengan revisi tersebut akan memperkecil kesempatan untuk lahirnya kades lain yang berkualitas, berinovasi, dan bermutu dalam waktu dekat.

Ketiga, bahaya lainnya adalah akan memunculkan kultus individu. Karena masa jabatannya yang lama dan berkuasa, maka akan memunculkan perilaku “raja-raja kecil” serta kelompok pemujanya. Relasi “patron/bos-anak buah” secara alamiah akan terbentuk di level desa.

Sebagai penguasa tunggal di desa, tindak-tanduk kades (yang buruk sekalipun) akan cenderung mendapat dukungan dan simpati oleh kelompok pemujanya. Berlawanan dan berbeda pandangan siap-siap disingkirkan.

Pembentukan kelompok pemuja dan relasi kuasa yang tidak sehat tak terhindarkan, sebab kades sebagai jabatan, memiliki fungsi sebagai sumber daya.

Warga akan cenderung permisif dengan mereka yang dianggap sebagai “sumber hidup”. Relasi saling menguntungkan akan terbangun, meskipun secara demokratis tidak sehat, hanya demi untuk mengamankan kepentingannya masing-masing.

Apabila sudah begini, bahaya keempat tidak akan terelakkan: pemerintahan desa yang otoriter-berkuasa sendiri dan potensi sewenang-wenang. Sikap kritis sangat mungkin dibungkam dalam keadaan seperti ini. Dan pastinya Kades yang diktator dan bangunan oligarki di desa pun akan lahir.

Dampak memperpanjang masa jabatan dapat kita analisis, dimana masa jabatan kades yang lama ini akan memengaruhi jalannya pemerintahan desa ke depan: menjadi sarat politis.

Sebagai pemegang simpul terdekat dengan warga, kades bisa memanfaatkannya untuk bertransaksi dan bargain dengan partai politik dalam momen pemilu. Konkretnya yang sering terjadi adalah mobilisasi warga.

Selain itu, lamanya masa jabatan juga sedikit-banyak akan memengaruhi kinerja pemerintah desa. Perangkat desa potensi tidak bekerja efektif dan efisien. Pastinya bersenang senang pada program karena beranggapan masih banyak waktu dengan masa jabatan yang lama. Penyalahgunaan anggaran adalah hal yang patut diwaspadai ke depan. Apalagi menjelang pemilu serentak.

Lanjut Moh Hosen Aktivis Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) Meminta kepada yang mulai Ir Joko Widodo Presiden Republik Indonesia untuk tidak mengabulkan perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa sampai 9 tahun. Karena dampaknya menjadi polemik kurang baik di tengah tengah masyarakat mengingat Demokrasi Politik Desa harus tetap stabil dan normal.

Kasihan masyarakat Indonesia yang ingin ikut serta dalam pembenahan di Desa karena tidak menutup kemungkinan jabatan 9 tahun bagi kepala Desa akan menimbulkan kerugian masyarakat dan pemerintah mengingat terindikasi melakukan pencucian uang untuk memperkaya diri dengan anggaran yang di gelontorkan oleh kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Mewakili masyarakat Indonesia dalam Demokrasi Politik Desa, kami Aktivis Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) berharap kepada Presiden Ir Joko Widodo dan Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia untuk mempertahankan kembali usulan masa jabatan 9 tahun bagi kepala Desa.

Hargailah UU Desa No. 6 Tahun 2014 yang telah di undangkan oleh pemerintah yakni secara spesifik memerintahkan Kepala Desa dan BPD (Badan Permusyawaratan Daerah) untuk melaksanakan kehidupan demokrasi. Kewajiban serupa berlaku bagi Desa, yaitu untuk mengembangkan kehidupan demokrasi.

Jangan karena terindikasi menghadapi pemilu di 2024 para Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berinisiatif untuk mengikuti kemauan kepala desa dengan catatan dirinya akan terpilih kembali sebagai wakil Rakyat sehingga Demokrasi Politik Desa tertutupi dengan adanya kepentingan pribadi tanpa menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila," ungkap Aktivis KAKI, Sabtu 8 Juli 2023.


(*)
×
Berita Terbaru Update